Langsung ke konten utama

TULIP, PREDESTINASI, CALVINISM

By : Pdt. Yakub Tri Handoko

REC "Reformed Exodus Community"

Secara umum poin kedua dari TULIP ini dapat dijelaskan dalam satu kalimat: Allah sejak kekekalan telah memilih sebagian orang berdosa untuk mendapatkan anugerah keselamatan berdasarkan kehendak/kedaulatan dan kebaikan-Nya. Dari definisi ini ada tiga elemen penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, keselamatan manusia ditentukan oleh pilihan Allah. Kedua, pemilihan ini sudah dilakukan Allah sejak kekekalan. Ketiga, alasan di balik pemilihan ini murni berasal dari dalam diri Allah, bukan faktor manusiawi yang diketahui Allah sebelumnya (bukan berdasarkan pra-pengetahuan Allah).

Bagi sebagian orang doktrin pemilihan merupakan suatu momok yang menakutkan. Doktrin ini dianggap memperlakukan manusia seperti robot yang hanya menjalani hidup mereka berdasarkan skenario Allah. Doktrin ini juga dianggap mengajarkan ketidakadilan Allah sehubungan dengan mereka yang tidak dipilih. Terlepas dari kesulitan-kesulitan seperti ini (lihat bagian selanjutnya), Alkitab memang mengajarkan doktrin ini dengan cukup jelas, karena itu doktrin ini harus diketahui oleh setiap orang Kristen. Di samping itu, seperti dikatakan oleh Calvin, pengabaian doktrin ini “evidently detracts from the divine glory, and diminishes real humility”.

Penjelasan Istilah.

Ada beberapa istilah yang terkait dengan pemilihan tanpa syarat dan perlu dipahami sebelumnya agar bisa menghindari kerancuan. 

Pertama, pra-ketetapan Allah (foreordination). Dalam dunia teologi, istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang sudah direncanakan Allah sebelumnya sejak kekekalan. Ketetapan ini mencakup segala sesuatu dan setiap detil (all-inclusive), misalnya hati manusia (Ams 21:1), keputusan manusia (Ams 16:1), kecelakaan (Kel 21:13), keisengan (1Raj 22:30, 34), hal-hal yang sepele (Mat 10:29-30) maupun dosa (Kej 45:4-8; 50:20; Kis 4:27-28). Ketetapan ini juga bersifat tunggal, dalam arti segala sesuatu (jamak) yang ditetapkan tersebut mengarah pada satu tujuan tertentu yang sama (tunggal). Konsep ketunggalan rencana Allah seperti ini tampak dari beberapa ayat Alkitab yang memakai bentuk tunggal untuk kata “rencana/tujuan Allah” padahal yang direncanakan mencakup segala sesuatu (Rom 8:28; Ef 1:11; 3:11).

Istilah kedua adalah predestinasi (predestination). Istilah ini merujuk pada rencana Allah sejak kekal yang berhubungan dengan akhir hidup manusia dalam hal keselamatan. Predestinasi tidak membahas hal-hal lain di luar konteks keselamatan rohani. Predestinasi memiliki dua aspek: pemilihan atas orang yang akan diselamatkan (election) dan pengabaian orang-orang lain sehingga mereka binasa (reprobation).

Dari penjelasan istilah di atas kita dapat mengambil beberapa konklusi:

Pemilihan tanpa syarat merupakan salah satu bagian dari predestinasi. Pemilihan tanpa syarat (dan predestinasi) merupakan bagian dari pra-ketetapan Allah, sehingga pembahasan tentang pemilihan tanpa syarat akan sangat berhubungan dengan konsep pra-ketetapan Allah secara umum. Doktrin pemilihan tanpa syarat terfokus pada mereka yang ditetapkan untuk selamat. Reprobasi hanyalah penjelasan logis dan biblikal dari mereka yang tidak menjadi objek pemilihan. Keselamatan berhubungan dengan pemilihan Allah.

Sebagian orang Kristen memiliki pandangan yang salah tentang predestinasi. Mereka menganggap bahwa doktrin ini tidak pernah diajarkan di dalam Alkitab. Doktrin predestinasi dilihat sebagai salah satu ekses (bahkan kesesatan) yang dilakukan para teolog Reformed. Tuduhan ini jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab. Ungkapan “umat pilihan” muncul berkali-kali dalam Alkitab (Mat 24:22, 24; Mar 13:20, 22; Kis 9:15; Rom 8:33; 16:13; Kol 3:12; 2Tim 2:10; Tit 1:1). Beberapa teks lain memberi keterangan kapan pemilihan ini dilakukan, yaitu “sejak semula” (Roma 8:29-30; Ef 1:5, 9, 11; 2Tes 2:13), “sebelum dunia dijadikan” (Ef 1:4), “sebelum permulaan jaman” (2Tim 1:9).

Para teolog Reformed maupun Armenian sama-sama mengakui bahwa Alkitab mengajarkan predestinasi. Isu yang mereka perdebatkan bukan ada atau tidaknya predestinasi, tetapi alasan di balik predestinasi tersebut. Kalangan Armenian menganggap predestinasi didasarkan pada pra-pengetahuan Allah terhadap apa yang akan dilakukan manusia (pemilihan bersyarat), sedangkan kalangan Reformed meyakni bahwa pemilihan ini tidak didasarkan pada faktor apapun dalam diri manusia (pemilihan tanpa syarat).

Pemilihan yang tanpa syarat

Argumen yang mendukung konsep pemilihan Reformed sangat melimpah. Alkitab secara jelas dan konsisten mengajarkan pemilihan tanpa syarat. Apa yang diajarkan Alkitab juga diteguhkan oleh analisa logis terhadap isu kedaulatan Allah. Untuk mempermudah pembahasan, argumen tersebut akan dibagi menjadi lima kelompok: pola pemilihan Allah dalam Alkitab, data Alkitab tentang pemilihan tanpa syarat, konsekuensi logis dari kerusakan total, kelemahan konsep pilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Allah, contoh konkrit pertobatan dari orang yang melawan Tuhan.

Pola pemilihan Allah dalam Alkitab

Dalam bagian ini kita akan menyelidiki beberapa ayat penting seputar pilihan Allah. Walaupun tidak semua teks tersebut secara khusus dan eksplisit berbicara tentang pilihan keselamatan, namun semua itu tetap perlu untuk dikaji karena memberi pencerahan tentang pola pilihan Allah. Pertama, Allah memilih tidak berdasarkan kebaikan dalam diri orang yang Dia pilih. Pada waktu Abraham dipilih, ia sebenarnya adalah penyembah berhala (Yos 24:2-3). Bangsa Israel dipilih bukan berdasarkan jumlah mereka yang banyak (Ul 7:7-8) maupun kesalehan mereka (Ul 9:4, 6). Tuhan berkenan untuk mengasihi nenek moyang bangsa Israel dan memilih keturunan mereka (Ul 10:15; terjemahan LAI:TB dalam ayat ini tidak tepat dan dapat menimbulkan kesan yang salah; lit. “tetapi Tuhan memiliki perkenanan atas nenek moyangmu untuk mengasihi mereka”).

Kedua, Allah memilih berdasarkan kedaulatan-Nya, bukan pra-pengetahuan-Nya. Teks yang paling jelas mengajarkan hal ini adalah Roma 9. Dalam teks ini Paulus menjelaskan bahwa Allah tidak memilih Ismael sekalipun dia adalah anak sulung. Sebaliknya, Allah memilih Ishak, karena dia adalah anak perjanjian (Rom 9:7-9; band. Kej 18:10, 14; 21:12). Untuk memperjelas poin yang ingin dia sampaikan (Rom 9:10a “bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi...”) Paulus selanjutnya membandingkan Esau dan Yakub. Tidak seperti relasi Ismael dan Ishak yang berawal dari ibu yang berbeda, Esau dan Yakub berasal dari ibu yang sama dan lahir dalam waktu yang bersamaan. Menurut budaya Yahudi, Esau berhak mendapatkan berkat kesulungan, tetapi Allah justru telah menetapkan Yakub sejak dalam kandungan untuk memeproleh hak itu. Pemilihan ini tidak didasarkan pada pra-pengetahuan Allah (Rom 9:11), melainkan pilihan-Nya yang bebas untuk lebih mengasihi Yakub daripada Esau (Rom 9:13). Untuk mengantisipasi mereka yang berpikir bahwa Allah telah bertindak tidak adil (Rom 9:14), Paulus menjelaskan bahwa Allah berhak memberikan kemurahan kepada siapa saja yang Dia kehendaki (Rom 9:15-16).

Data Alkitab tentang pemilihan tanpa syarat

Alkitab secara eksplisit mengajarkan pemilihan tanpa syarat. Pemilihan Allah sejak kekekalan didasarkan pada kasih dan kerelaan kehendak-Nya (Ef 1:5, 9). Dalam segala sesuatu Allah bekerja menurut kerelaan kehendak-Nya (Ef 1:11). Hal ini tidak berarti bahwa Allah memilih secara acak, melainkan berdasarkan hikmat dan pengertian-Nya yang tidak terselami (Ef 1:8). Karena pilihan ini merupakan kehendak Allah yang bebas, maka pilihan seperti ini layak disebut sebagai kasih karunia (Ef 1:6-7).

Yesus secara jelas menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa bukan mereka yang memilih Yesus, tetapi Yesuslah yang memilih mereka (Yoh 15:16). Yohanes juga menegaskan bahwa Allah lebih dahulu mengasihi orang percaya (1Yoh 4:10). Orang percaya memang dituntut untuk memilih dan mengasihi Allah, tetapi dua hal tersebut hanya akan terjadi kalau Allah lebih dahulu bekerja di dalam diri mereka (Flp 2:13). Kisah Rasul 13:48 mencatat “semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal menjadi percaya”. Iman, kasih dan pengharapan orang percaya merupakan hasil pilihan Allah (1Tes 1:4). Di tempat lain Alkitab mengajarkan bahwa yang berhak mendekat kepada Allah adalah mereka yang telah dipilih-Nya (Mzm 65:5).

Pilihan tanpa syarat juga dapat dilihat dari hubungan antara pilihan dan iman/kekudusan.

Alkitab secara jelas mengajarkan bahwa manusia dipilih supaya menjadi percaya/kudus. Iman dan kekudusan seseorang bukanlah alasan bagi pemilihan Allah, tetapi tujuan. 2Tesalonika 2:13 “Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai”. Allah memilih kita supaya kita kudus dan tidak bercacat serta menjadi anak-anak-Nya (Ef 1:4-5). Dengan demikian, Allah tidak mungkin memilih berdasarkan pra-pengetahuan-Nya terhadap iman/kebaikan seseorang, karena hal itu akan membuat iman/kebaikan tersebut sebagai dasar/alasan pemilih.

Konsekuensi logis dari kerusakan total
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, semua poin dalam TULIP telah disusun berdasarkan sistem pemikiran yang logis, koheren dan sistematis. Jika suatu poin diterima maka poin-poin lain secara logis juga akan diterima. Demikian pula dengan doktrin pemilihan tanpa syarat. Doktrin ini sangat berkaitan dan ddasarkan pada doktrin kerusakan total manusia akibat dosa asal.

Menurut doktrin kerusakan total, setiap manusia lahir dalam keadaan yang mengenaskan. Mereka mewarisi dosa asal dari Adam yang mengakibatkan mereka memiliki status berdosa, dikuasai oleh dosa dan naturnya rusak oleh dosa. Masalah ini masih diperparah dengan otoritas iblis dan pengikutnya atas orang-orang yang di luar Kristus. Keadaan ini membuat manusia tidak mungkin memilih Allah. Tidak ada cara apapun juga yang dapat dilakukan dari pihak manusia.

Jika konsep di atas diterima, maka manusia membutuhkan inisiatif dan intervensi Allah dalam keselamatan mereka. Manusia membutuhkan anugerah Allah secara mutlak. Anugerah ini dinyatakan dan direalisasikan Allah dalam rangkaian proses keselamatan, termasuk di antaranya adalah pemilihan sejak kekekalan. Dalam kasih dan pegertian-Nya Allah memilih untuk menyelamatkan sebagian orang berdosa dan membiarkan yang lain dalam keadaan mereka yang tidak berdaya.

Pilihan yang dilakukan Allah tersebut tidak mungkin didasarkan pada faktor dalam diri orang berdosa. Jika doktrin kerusakan total diterima, maka dalam diri manusia tidak ada sesuatu pun yang baik yang dapat memuaskan hati Allah. Mereka semua bahkan layak untuk dibinasakan selama-lamanya.  

Kelemahan konsep pilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Allah. 

Ada dua sisi kelemahan dari konsep pemilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Alkitab. Sisi pertama dari Alkitab dan sisi kedua dari logika. Kedua sisi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan, karena pemahaman Alkitab membutuhkan logika sedangkan kebenaran logika hanya dapat diteguhkan oleh kebenaran firman. Bagaimanapun, pembedaan antara keduanya akan mempermudah pemahaman.

Dari sisi Alkitab, pemilihan berdasarkan pra-pengetahuan Allah tidak memiliki dasar biblikal yang kuat. Kalangan Armenian biasanya memakai Roma 8:29 untuk mendukung pandangan mereka. Inti argumen mereka terletak pada kata proegnw (“mengetahui sebelumya”, band. mayoritas versi Inggris). LAI:TB menerjemahkan proegnw di Roma 8:9 dengan “dipilih”.

Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa pemakaian kata dasar ginwskw untuk mendukung pandangan pemilihan berdasarkan pra-pengetahuan adalah tindakan tidak tepat. Kata kerja ginwskw (mengetahui/mengetahui) merupakan ungkapan umum di kalangan orang Yahudi untuk merujuk pada pegetahuan yang melibatkan relasi maupun kasih, bukan sekedar pengetahuan intelektual/kognitif. Tidak heran, dalam Alkitab - baik kata Ibrani yada (PL) maupun ginwskw (PB) - dipakai untuk hubungan seksual (melibatkan relasi yang intim, band. Kej 4:1; Mat 1:25; Luk 1:34). Di samping itu, pemakaian ungkapan “mengetahui” dalam beberapa teks secara eksplisit tidak mungkin merujuk pada pengetahuan kognitif saja.

Mazmur 1:6 “Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan”. Ayat ini jelas tidak mengajarkan bahwa Tuhan secara kognitif hanya mengetahui jalan orang benar, karena Dia mahatahu dan pasti mengetahui jalan orang fasik juga. “Mengetahui” di sini menyiratkan relasi.
Amos 3:2 “hanya kamu yang Ku-kenal dari segala kaum di muka bumi”. Apakah Tuhan tidak mengetahui bangsa lain.

Penggunaan kata proginwskw (“mengetahui sebelumnya”) maupun prognwsis (“pra-pengetahuan”) dalam Perjanjian Baru juga mendukung makna yang lebih dari sekedar pengetahuan kognitif (Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans, 532). Jika dua kata itu dipakai untuk Allah, maka maknanya lebih dari sekedar pengetahuan kognitif. Bangsa Israel adalah bangsa diketahui Allah sebelumnya (baca: dipilih, Rom 11:2). Yesus telah diketahui Allah (baca: dipilih) sebelumnya untuk menjadi kurban penebusan dosa (Kis 2:23; 1Pet 1:20). Dalam 1Petrus 1:2 tertulis “orang-orang yang diketahui sebelumnya (baca: dipilih)....supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya”.

Konteks Roma 8:29 juga mendukung makna pengetahuan relasional (Moo, Romans, 532-533). Objek pra-pengetahuan dalam Roma 8:29 bukanlah benda, tetapi manusia (“semua orang yang diketahui sebelumnya”). Selain itu, cakupan pra-pengetahuan ini hanyalah sebagian orang. Jika “mengetahui sebelumnya” hanya dipahami secara kognitif, maka hal itu bertentangan dengan konsep kemahatahuan Allah. Cakupan yang terbatas ini jelas merujuk pada pada pengetahuan relasional.

Dari sisi logika, pemilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan juga tidak dapat dipertahankan, karena berkontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradictive). Berdasarkan kemahatuan Allah, jika Dia mengetahui sesuatu, maka apa yang Dia ketahui tersebut pasti akan terjadi. Jika Allah sejak kekekalan mengetahui bahwa orang-orang tertentu akan percaya kepada-Nya, maka mereka pasti akan percaya. Jika demikian, apakah gunanya Allah memilih mereka untuk diselamatkan? Bukankah kalau Allah tidak berbuat apapun (hanya mengetahui secara kognitif saja), maka mereka tetap akan percaya kepada-Nya? Jika demikian, bagaimana konsep Alkitab tentang keselamatan sebagai anugerah mutlak Allah?

Contoh konkrit pertobatan dari orang yang melawan Tuhan.

Argumen terakhir yang mendukung pemilihan tanpa syarat adalah pertobatan dari orang-orang yang sangat menentang Tuhan. Contoh yang paling jelas adalah Paulus. Pertobatannya selama perjalanan menuju Damsyik merupakan sebuah “paksaan” dari Tuhan dan diibaratkan seperti bayi yang lahir prematur (1Kor 15:8). Paulus selanjutnya menyadari bahwa dia telah dipilih Tuhan sebelumnya, bukan hanya untuk pertobatan tetapi juga untuk pelayanan sebagai rasul (Gal 1:15-16). Robert D. Culver bahkan meyakini bahwa alasan ini pula yang embuat Paulus menjadi rasul yang paling bersemangat mengajarkan predestinasi (Systematic Theology: Biblical & Historical, 125). Pertobatan seperti yang dialami Paulus merupakan salah satu bukti bahwa hal itu terjadi murni dari inisiatif dan intervensi Allah. Paulus bertobat bukan ketika dia sedang mencari kebenaran, tetapi justru ketika dia berusaha membinasakan kebenaran itu. Dia bertobat bukan karena menemukan kebenaran, tetapi ditemui Sang Kebenaran (Yoh 14:6).

Predestinasi ganda

Isu yang paling sulit sehubungan dengan predestinasi adalah tentang orang-orang yang tidak dipilih. Sebagian sarjana menyebut mereka yang tidak dipilih sebagai orang-orang yang ditolak, namun istilah “orang-orang yang ditolak” tampaknya tidak tepat. Istilah ini memberi kesan manusia berdosa telah mengindikasikan inisiatif untuk datang, tetapi Allah dengan aktif menolak/menghalangi mereka. Predestinasi didasarkan pada natur manusia yang berdosa. Tanpa intervensi Allah dalam bentuk paket keselamatan (dari predestinasi sampai pemuliaan), manusia tidak akan percaya kepada Allah. Karena manusia berdosa tidak mungkin datang kepada Allah, mereka tidak perlu ditolak.

Diskusi tentang orang-orang yang tidak dipilih telah menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan mereka yang menerima predestinasi. Sebagian hanya membatasi predestinasi pada orang-orang yang dipilih (predestinasi tunggal), sementara yang lain percaya bahwa predestinasi menyangkut orang-orang yang dipilih maupun yang tidak dipilih (predestinasi ganda). Pandangan predestinasi ganda dapat disarikan sebagai berikut “Allah telah memilih sebagian orang untuk diselamatkan berdasarkan kebaikan dan kedaulatan-Nya yang mutlak dan membiarkan sebagian yang lain dalam kebinasaan”.

Kata “membiarkan” di atas menyiratkan “ketidakaktifan” Allah dalam kebinasaan sebagian orang. Allah tidak perlu secara aktif membuat orang binasa. Mereka secara natur pasti akan binasa. Di sisi lain, kata “membiarkan” juga tidak boleh diartikan bahwa Allah tidak bisa berbuat apa-apa (pasif) terhadap apa yang akan terjadi dengan orang-orang yang tidak dipilih. Membiarkan berarti “secara aktif menetapkan untuk membiarkan sesuatu terjadi”.

Dasar Alkitab untuk predestinasi ganda
Alkitab tidak banyak memberikan indikasi eksplisit tentang orang-orang yang tidak dipilih. Berikut ini adalah beberapa ayat yang mengarah ke sana:

Amsal 16:4 “TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka”

Kis 1:16-20 Perbuatan Yudas Iskariot sudah dinubuatkan sebelumnya

Kis 4:27-28 “Herodes...Pontius Pilatus...untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu”

Roma 9:6-18 Allah berdaulat untuk memilih maupun mengabaikan beberapa orang

Yudas 1:4 “orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum”

Wahyu 13:8 “...semua orang yang namanya tidak ditulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan”

Alkitab memberi penekanan pada ketetapan Allah untuk menyerahkan Yesus (Rom 5:6; 8:32). Yesus juga berkali-kali menyatakan bahwa Ia harus mati (Mat 16:21; 20:22; 26:54; Mar 8:31; 10:38). Kalau Yesus memang telah ditetapkan sejak kekekalan untuk menjadi juru selamat kita (band. Ef 1:4), bukankah orang-orang yang menyerahkan-Nya juga sudah ditetapkan (Kis 1:16-20; 4:27-28)?

Argumentasi teologis-filosofis untuk predestinasi ganda.

Predestinasi tunggal sebenarnya secara logis dan teologis tidak bisa dibenarkan. Berikut ini adalah runtutan pemikiran untuk membuktikan inkonsistensi predestinasi tunggal:

à Seandainya Allah hanya memilih orang-orang tertentu untuk diselamatkan, bagaimana nasib orang-orang yang tidak dipilih? Apakah mereka memiliki peluang untuk diselamatkan?

à Jawaban terhadap pertanyaan di atas ada dua: ya atau tidak

à Seandainya tidak, berarti mereka pasti akan binasa (predestinasi ganda)

à Seandainya ya, atas dasar apa mereka diselamatkan? Apakah Allah memiliki pola keselamatan yang berbeda untuk orang yang berbeda? Apakah seseorang bisa selamat tanpa intervensi Allah? Kalau begitu, apakah artinya keselamatan karena anugerah? (band. Ef 2:8-10) 

Predestinasi ganda sebagai sebuah misteri ilahi.

Orang yang menolak predestinasi ganda biasanya memiliki anggapan, baik sadar atau tidak, bahwa tujuan utama penciptaan adalah kebaikan manusia. Hal ini kurang sesuai dengan Alkitab. Tujuan utama Allah menciptakan segala sesuatu adalah untuk kemuliaan-Nya (Rom 3:36; Kol 1:16; Ef 1:5-6, 12, 13-14; 2:8-10; Why 4:11). Allah tidak harus menciptakan sesuatu di luar diri-Nya. Tanpa apapun Allah sudah sempurna. Dia tidak membutuhkan apapun, sekecil apapun. Ketika Ia menetapkan untuk menciptakan segala sesuatu, semuanya itu hanya untuk kemuliaan-Nya. Ia membangkitkan dan menghukum Firaun hanya untuk menunjukkan kemuliaan-Nya (Kel 14:4; Rom 9:17). Ia berhak melakukan apa saja, karena Ia adalah Pencipta (Rom 9:20-21).

Hal yang lain yang perlu disadari adalah kecenderungan manusia untuk mengetahui segala sesuatu dengan tuntas. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang mustahil untuk dicapai. Manusia terbatas dalam banyak hal. Selain itu, dalam konteks pengetahuan tentang Allah, Allah tidak bisa dipahami, karena Ia tidak terbatas. Manusia tidak akan pernah bisa memahami semua ketetapan Allah (Ul 29:29; Rom 11:33-35). Orang percaya seharusnya menerima doktrin ini dengan ucapan syukur dan kerendahhatian. Alkitab mengajar hal ini, karena itu orang percaya wajib mengetahuinya. Hal-hal lain yang berada di luar kapasitas rasio manusia kita terima dengan iman.

Apakah pandangan Armenian dapat memberikan solusi yang memuaskan?

Terlepas dari pandangan Armenian yang tidak Akitabiah, kita tetap perlu menanyakan pertanyaan di atas. Pertanyaan seperti ini perlu untuk dikemukakan, karena dalam diskusi tentang predestinasi seringkali Teologi Reformed menjadi objek serangan. Sebagian orang menganggap bahwa doktrin predestinasi Reformed tidak memuaskan dan sulit diterima, karena berkontradiksi degan natur Allah yang baik. Sebaliknya, mereka meyakini bahwa pandangan Armenian mampu memberi penjelasan yang memuaskan. Apakah benar demikian?

Kenyataannya, pandangan Armenian tetap tidak mampu memberi penjelasan yang tuntas. Sebenarnya kalangan Reformed dan Armenian menghadapi masalah yang sama yang berada di luar kapasitas otak manusia untuk memahaminya. Solusi yang ditawarkan pihak Armenian tetap menyisakan tanda tanya besar. Jika Allah hanya mengetahui sebelumnya bahwa sebagian orang akan percaya (selamat) dan menolak (binasa) Kristus, mengapa Dia masih mengijinkan orang itu untuk lahir ke dunia? Bukankah Allah yang menentukan keberadaan setiap orang? Sekalipun Dia tidak menetapkan sebagian orang untuk binasa (seperti yang diyakini kalangan Armenian), bukankah Dia tetap mampu mencegah hal itu untuk terjadi? Mengapa Dia tidak melakukannya? Bukankah membiarkan seseorang mati di depan kita padahal kita mampu menolong orang itu merupakan tindakan yang sulit diterima?

Kita lebih baik menerima ajaran Alkitab dengan penuh ketundukan, sekalipun hal itu secara psikologis sangat mengganggu kita. “Gangguan” ini terjadi bukan karena kesalahan dalam ajaran Alkitab, tetapi keterbatasan pikiran kita. Sama seperti seorang anak kecil yang sulit mempercayai kasih orang tuanya ketika dia dilarang bersenang-senang dengan pisau, dihajar karena suatu kesalahan atau merasa dikekang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEGITIGA PARADOX : ANTARA PROVIDENSI, DOSA, DAN KEKUDUSAN ALLAH

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali PENDAHULUAN Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata paradoks? Bagi saya memikirkan paradoks ini rasanya sama seperti kita sedang naik "Roaler Coaster". Suatu aktifitas berpikir yang memusingkan sehingga benar-benar memeras otak. Tapi sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan paradoks, karena istilah seperti ini tidak terbiasa lahir dari letupan-letupan percakapan ringan ala kedai tuak, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa ada yang belum mengerti dengan istilah ini. 1. PARADOKS  Apa itu paradoks? Paradoks bisa didefinisikan sebagai dua pernyataan yang berlawanan tapi keduanya sama-sama benar. Atau paradoks juga bisa diartikan benar dan salah pada saat yang bersamaan. Padahal kita tahu bahwa secara logika sesuatu yang salah tidak bisa menjadi benar disaat yang sama. Berikut ini contoh pernyataan yang bersifat paradoks:  "DION YANG ORANG FLORES ITU BERKATA BAHW

50 TANYA-JAWAB SEPUTAR IMAN KRISTEN

1. Jika Yesus adalah Allah, mana pengakuan Yesus secara eksplisit bahwa Dia adalah Allah? JAWAB :  Iman Kristen tidak mendasarkan hanya pada pengakuan langsung dari mulut Yesus. Iman Kristen percaya kepada kesaksian seluruh kitab suci walaupun Yesus tidak pernah mengumumkan bahwa Dia adalah Allah tapi kitab suci memberitahukan dan mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah. Jika kepercayaan atas ke-Allahan Yesus harus menuntut pengakuan langsung dari Yesus, lalu mengapa harus tiba pada kesimpulan bahwa Yesus bukan Allah, sedangkan Yesus tidak pernah mengakui bahwa Dia bukan Allah. Kesaksian dari penulis Injil sudah cukup untuk mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah, karena mereka adalah orang-orang yang ada di sekeliling Yesus mereka adalah para saksi-saksi mata. Sedangkan orang yang menolak Yesus tidak pernah hidup sejaman dengan Yesus. 2. Apa bukti bahwa Yesus adalah Allah? JAWAB :  Bukti bahwa Yesus adalah Allah adalah, Yesus memilik sifat-sifat dan melakukan tindakan-tindakan

BENARKAH BAHWA YESUS BUKAN THEOS?

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali  Menurut DR. Erastus Sabdono, Yesus itu sebenarnya bukan Theos, kata Theos hanya merujuk kepada pribadi Allah Bapa, tidak pernah merujuk kepada pribadi Allah Anak/Yesus. Nah untuk meneguhkan pandangannya, beliau lalu mengutip 2 Kor 1:3 .  2 Korintus 1:3 (TB) Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Sedangkan menurut beliau kata Yunani yang digunakan ketika merujuk pada Yesus adalah kata Kurios [Tuhan/Tuan] bukan Theos. Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, maka Erastus Sabdono merasa bahwa Yesus seharusnya tidak sederajat dengan Bapa. Kata Theos ini diterjemahkan LAI sebagai Allah, maka implikasinya [bahayanya] adalah jika Yesus bukan Theos, maka Yesus juga bukan Allah. Lalu bagaimana kita menanggapi atau menjawab ajaran Erastus Sabdono ini? Sebenarnya kalau kita merujuk ke bahasa aslinya [Yunani] kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak ayat Alkitab yang m