Pdt Stephen Tong pernah berkata bahwa, "Menjadi seorang atheis sebenarnya membutuhkan iman yang jauh lebih besar dari theis untuk menjelaskan alam semesta ini dan segala realitasnya". Apakah pernyataan seperti ini bisa diterima?
Menurut saya sebenarnya pernyataan seperti ini tidak unik berasal dari Pdt. Stephen Tong. Banyak apologet dan teolog Kristen, e.g. Ravi Zacharias, dll. juga menyatakan hal yang sama.
Pernyataan itu benar. Memang menjadi ateis dibutuhkan iman yang lebih besar dari pada menjadi teis [mempercayai keberadaan Allah] karena:
1. Dari sisi evidensial, membuktikan ketidak-beradaan Allah jauh lebih sulit dari pada membuktikan keberadaan-Nya. Misalnya, untuk menyangkal bahwa Allah mutlak tidak ada, seorang ateis haruslah menyelidiki dan mengeksplorasi seluruh jagat raya ini, dan sesudahnya baru boleh mengambil kesimpulan bahwa Allah tidak ada. Tetapi tentu saja tak satu pun orang ateis yang pernah melakukan hal ini, sehingga jika disimpulkan bahwa Allah tak ada tanpa pembuktian semacam itu, maka kesimpulan bahwa Allah tak ada itu berdiri di atas probabilitas [kemungkinan] yang tidak mungkin atau mustahil untuk dibuktikan.
Tetapi bagi para teis, dengan menggunakan argumentasi ontologis, kosmologis, teleologis, moral, dan etnologis, maka jika keberadaan Allah itu "dianggap" sebagai sebuah "probabilitas" [kemungkinan], probabilitas semacam ini jauh lebih rasional dan tidak mustahil karena berdiri di atas bukti-bukti yang rasional.
2. Dari sisi presaposisi. Pada umumnya teolog atau apologet Reformed tidak menggunakan cara evidensialistik seperti pada poin pertama di atas, kecuali R.C. Sproul dan beberapa orang yang lain. Reformed menggunakan apologetika presaposisi.
Nah, dari sisi presaposisi, orang ateis harus bisa menjelaskan bagaimana moral dan rasionalitas manusia memiliki landasannya tanpa mempresaposisikan keberadaan Allah. Lagi pula, bagaimana makna dan tujuan hidup manusia dapat terpahami [intelligible] jika Allah tidak ada? Saya berikan satu contoh dari aspek moral: Bagaimana orang ateis dapat menjustifikasi bahwa pembunuhan satu keluarga di Bekasi baru-baru ini adalah jahat, jika tidak ada Allah yang menjadi penentu bagi baik dan jahat dan menjadi hakim yang mengadili orang-orang jahat? Jika benar tak ada Allah, maka baik dan jahat ditentukan oleh manusia sendiri secara subyektif. Nah, bagaimana orang ateis dapat mengatakan bahwa pembunuhan di Bekasi itu adalah jahat, sementara menurut orang yang membunuh mereka, itu dilihat sebagai tindakan yang baik karena mau balas dendam? Jika semua orang menentukan baik dan jahat menurut pandangannya sendiri secara subyektif, maka dunia ini menjadi luar biasa kacaunya. Dengan demikian kita butuh standar di dalam kehidupan moral kita dan standar itu mutlak mempresaposisikan adanya Allah, penentu baik dan jahat dan penghakim semua orang. Maka, di sini kita bisa lihat bahwa ternyata konsep ateisme mengenai ketidak-beradaan Allah adalah intelligible dan tak rasional serta tak dapat dipertahankan.
Maka, oleh karena kesulitan-kesulitan ini, seorang ateis yang bernama Bertrand Russell, tak memeluk ateisme dogmatis yang secara mutlak menolak keberadaan Allah, tetapi ia mengambil posisi ateis skeptis yang percaya bahwa karena bukti-bukti keberadaan Allah tak meyakinkan maka lebih baik tak usah mempercayai keberadaan Allah. Tetapi posisi skeptis semacam ini pun sulit untuk dipertahankan. Karena tentu saja eksistensi sesuatu hal tak perlu bergantung pada pembuktian. Ada banyak hal yang eksis di dalam galaksi kita, misalnya, yang kita tidak tahu dan juga tak dapat dibuktikan, tetapi hal-hal itu sungguh-sungguh ada. Jadi, pergeseran Russell kepada ateisme skeptis juga merupakan sesuatu hal yang tak dapat dipertahankan.
~Dikutip dari Studi Reformed MYM
Komentar
Posting Komentar