Langsung ke konten utama

MENJAWAB SAKSI YEHUWA YANG MENOLAK NERAKA

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali 

Shalom pembaca yang budiman. Pada artikel kali ini saya akan menjawab salah satu doktrin Saksi Yehuwa, yang dikutip dari situs mereka JW. ORG. Link artikelnya akan disematkan di bagian akhir dari artikel ini.

Seperti yang kita ketahui bahwa Saksi Yehuwa adalah salah satu bidat Kristen yang sangat getol memberitakan "injil". Tentu saja injil versi Saksi Yehuwa adalah "injil yang lain" atau injil palsu sebagaimana yang dimaksud dan dikutuk oleh rasul Paulus dalam Galatia 1:8 

Galatia 1:8 (TB) Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.

Injil palsu pasti berbeda secara fundamental dengan Injil yang asli. Nah kali ini kita akan melihat perbedaannya sekaligus menjawab salah satu doktrin dari Saksi Yehuwa yaitu "Penolakan mereka terhadap neraka"

Saksi Yehuwa menolak adanya neraka dengan mengutip kisah dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus. Disini saya akan mencoba untuk mengutip poin-poin dari argumentasi penolakan mereka yang saya tandai dengan bold hijau, kemudian memberikan tanggapan dibawahnya.

1. Saksi Yehuwa : Perumpamaan orang kaya dan Lazarus bukanlah kisah nyata.

Ini adalah perumpamaan yang Yesus ceritakan untuk mengajar kita. Para pakar Alkitab juga mengakui bahwa ini bukanlah kisah nyata. Misalnya, Alkitab terjemahan Martin Luther edisi 1912 mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah perumpamaan. Alkitab Katolik The Jerusalem Bible, dalam sebuah catatan kaki, juga mengakui bahwa ini adalah suatu ”perumpamaan berbentuk cerita, dan tokoh-tokohnya tidak benar-benar ada”.

TANGGAPAN :

Saya belum memeriksa Alkitab versi Martin Luther 1912 dan Alkitab Khatolik The Jerusalem Bible. Tapi jika berbicara tentang perumpamaan, saya setuju bahwa perumpamaan itu bukanlah kejadian yang sebenarnya, melainkan kisah dalam perumpamaan digunakan untuk menyampaikan beberapa pesan penting agar lebih mudah dipahami oleh si penerima pesan. Tapi bahwa perumpamaan bukanlah kejadian yang sebenarnya itu tidak berarti bahwa perumpamaan itu tidak penting, perumpamaan seringkali digunakan sebagai gambaran dalam memahami kejadian yang sebenarnya.

2. Saksi Yehuwa : Apakah melalui perumpamaan itu Yesus mengajarkan bahwa ada kehidupan setelah kematian?

Apakah Yesus mengajarkan bahwa ada kehidupan setelah kematian? Apakah Yesus menunjukkan bahwa Abraham dan Lazarus ada di surga dan ada orang-orang yang disiksa di api neraka setelah mereka meninggal? Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa bukan itu yang Yesus maksudkan. Misalnya:

A. Jika orang kaya itu memang disiksa dalam api yang berkobar, air di ujung jari Lazarus pasti akan langsung menguap.

B. Kalaupun airnya tidak menguap, apa gunanya air yang hanya setetes untuk pria yang sedang kepanasan itu?

C. Abraham tidak mungkin ada di surga, karena Yesus dengan jelas mengatakan bahwa pada saat Yesus ada di bumi, belum pernah ada orang yang naik ke surga. (Yohanes 3:13).

TANGGAPAN :

Saya kira disini Saksi Yehuwa tidak memahami dengan benar apa itu analogi. Analogi tidak bermaksud untuk membandingkan semua hal, analogi biasanya hanya membandingkan aspek-aspek tertentu saja. Jadi dalam hal ini analogi tentang Orang Kaya dan Lazarus di neraka hanya untuk menekankan betapa pedihnya penderitaan di neraka, dan hanya untuk menunjukkan bahwa surga dan neraka itu ada atau eksis.

Lagipula diatas Saksi Yehuwa berkata bahwa perumpamaan ini bukanlah kejadian yang sebenarnya, artinya "api yang berkobar-kobar ini" adalah gambaran untuk penderitaan di neraka, jika ini bukan kejadian yang sebenarnya, lalu mengapa berharap bahwa cerita dalam perumpamaan itu harus sesuai dengan kejadian yang sebenarnya? Jadi seharusnya Saksi Yehuwa bisa menangkap pesan dari perumpamaan ini tanpa perlu menuntut perumpamaan ini harus sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.

Selanjutnya dengan mengutip Yoh 3:13 Saksi Yehuwa menggunakan ayat ini untuk menolak keberadaan Abraham di surga. Jika dilihat dari konteksnya, disini Yesus tidak sedang bermaksud bahwa sebelum Dia belum ada orang yang telah naik ke surga. Penafsiran demikian hanya akan menabrak sejumlah ayat lain yang menyatakan bahwa ada orang yang telah naik ke surga. Henokh dan Elia telah diangkat ke surga (Kej 5:24; Ibr 11:5; 2 Raj 2:11). Abraham, Ishak, Yakub, serta yang lainnya juga pasti telah berada di sana.

Untuk memahami ayat 13 ini kita harus melihat dari ayat 10-12, disitu kita melihat bahwa Yesus sedang berbicara mengenai masalah otoritas dan keabsahan ajaran-Nya. Dalam ayat 13, Yesus menjelaskan kepada Nikodemus mengapa hanya Dia saja yang memenuhi syarat untuk berbicara tentang hal-hal ini, yakni, karena Dia merupakan satu-satunya yang pernah pergi ke surga dan kemudian kembali dengan pengetahuan dari surga untuk diajarkan kepada orang-orang. Karenanya, tidak ada seorangpun yang dapat berbicara tentang hal-hal surgawi dengan otoritas yang sama seperti Yesus.

Untuk berbicara tentang hal-hal surgawi, selain diperlukan pengetahuan yang intim mengenai hal-hal tersebut, semua pengetahuan itu harus dilihat dan dialami sendiri, maka hanya Yesus sendirilah yang dapat memenuhi kedua kriteria tersebut. Karena tidak ada yang telah naik ke surga dan kemudian kembali selain Yesus. Tidak ada seorangpun yang memenuhi syarat untuk berbicara mengenai hal ini selain Dia yang turun dari surga. Jadi ayat ini tidak sama sekali berbicara bahwa tidak ada orang yang telah naik ke surga, sebaliknya, ayat ini menyatakan kalau tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga dan "kembali," sehingga memenuhi syarat untuk berbicara mengenai hal-hal yang ada di surga. Disini Saksi Yehuwa gagal memahami ayat ini.

3. Saksi Yehuwa : Apakah cerita ini menunjukkan bahwa api neraka itu benar-benar ada?

Tidak! Tapi, mungkin ada yang berpendapat, ’Ini memang bukan kisah nyata. Ini adalah gambaran yang menunjukkan bahwa orang baik akan pergi ke surga dan orang jahat akan disiksa di api neraka.’ Apakah pendapat seperti itu masuk akal? Tidak.

Ajaran tentang api neraka tidak sesuai dengan apa yang Alkitab katakan tentang keadaan orang mati. Misalnya, Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa setelah meninggal semua orang baik akan hidup bahagia di surga dan semua orang jahat akan disiksa di api neraka. Sebaliknya, Alkitab dengan jelas mengatakan, ”Orang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tapi orang mati tidak tahu apa-apa.” (Pengkhotbah 9:5)

TANGGAPAN :

Saksi Yehuwa berkata bahwa ajaran tentang neraka tidak sesuai dengan apa yang Alkitab katakan tentang orang mati. Lalu mengutip Pkh 9:5 untuk meneguhkan pandangan mereka. Saya kira Saksi Yehuwa ini mungkin kurang jeli dalam membaca Alkitab atau mereka mungkin sengaja mengabaikan bagian Alkitab yang berbicara tentang neraka.

Ada begitu banyak bagian Alkitab yang berbicara tentang neraka dan mayoritas diajarkan oleh Yesus sendiri (Mat 8:12; 11:23; 13:42; 13:50; 22:13b; 25:46; 25:41; Mark 9:43-48; Luk 16:22-26; Wah 14:11; 19:20b; 20:10; 21:8). Lalu mau dibuang kemana ayat-ayat ini?

Lalu bagaimana dengan Pkh 9:5 yang dikutip oleh Saksi Yehuwa ini?. Jika kita ngotot untuk menafsirkan bahwa tidak ada kehidupan pasca kematian, tidak ada kesadaran, orang yang mati bagaikan ayam atau entok yang dipotong, setelah manusia itu mati, maka eksistensi maupun kesadaran hilang lenyap, ini tentu saja menabrak sejumlah ayat yang sudah disebutkan diatas. Salah satu prinsip menafsirkan adalah, satu ayat tidak boleh bertabrakan dengan ayat yang lain, kita tidak bisa mengutip satu ayat lalu sengaja mengabaikan ayat yang lainnya, karena kita percaya bahwa setiap ayat dari Kejadian sampai Wahyu adalah sama-sama firman Tuhan.

Nah menurut saya Mathew Henry menafsirkan dengan benar terhadap ayat ini.

Mathew Henry :

Salomo, dalam keresahan, sudah menganggap orang-orang mati lebih bahagia dari pada orang-orang hidup (4:2). Tetapi di sini, ketika mempertimbangkan keuntungan-keuntungan hidup, bahwa orang hidup dapat bersiap-siap menghadapi kematian dan memastikan harapan akan kehidupan yang lebih baik, ia tampak berpikiran lain.

Salomo menunjukkan keuntungan-keuntungan yang dimiliki orang-orang hidup melebihi orang-orang mati (ayat 4-6).

1. Selama ada hidup, ada harapan. Dum spiro, spero – Selama aku bernapas, aku berharap. Adalah hak istimewa orang hidup bahwa mereka termasuk orang hidup, mereka berhubungan, bekerja, dan bergaul dengan orang hidup, dan, selama mereka hidup, ada harapan. Kalaupun keadaan seseorang buruk dari segala segi, ada harapan bahwa keadaan itu akan menjadi lebih baik. Walaupun hati penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada di dalamnya, namun selama ada hidup ada harapan bahwa dengan anugerah Allah bisa saja terjadi perubahan yang penuh berkat. Tetapi setelah orang pergi menuju alam orang mati (ayat 3), semuanya sudah terlambat. 

2. Selama ada hidup, ada kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi kematian: Orang-orang yang hidup mengetahui apa yang tidak diketahui oleh orang mati. Secara khusus mereka tahu bahwa mereka akan mati, dan dengan demikian mereka tergerak, atau bisa tergerak, untuk bersiap-siap menghadapi perubahan yang besar itu, yang pasti akan datang, dan mungkin datang secara tiba-tiba. 

3. Ketika hidup lenyap (mati) seluruh dunia ini lenyap bersamanya, dalam kaitannya dengan diri kita. Segala sesuatu yang kita kenal tentang dunia ini dan perkara-perkara di dalamnya akan berakhir. Orang yang mati tak tahu apa-apa tentang hal yang, sewaktu mereka hidup, mereka kenal dengan baik. Tidak tampak bahwa mereka mengetahui sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka tinggalkan. Abraham tidak tahu apa-apa tentang kita. Mereka dipindahkan ke dalam kegelapan (Ayub 10:22).


4. Bagi orang mati nama mereka akan berakhir. Hanya ada sedikit orang yang namanya bertahan lama setelah mereka mati. Kuburan adalah negeri segala lupa, sebab kenangan kepada mereka yang terbaring di sana segera lenyap. 

Maka dari itu Salomo menyimpulkan bahwa berhikmatlah kita untuk memanfaatkan kehidupan dengan sebaik-baiknya selama kehidupan masih berlangsung, dan mengurus dengan bijak apa yang tersisa darinya.

Jadi Pkh 9:5 tidak bisa ditafsirkan bahwa kematian melenyapkan eksistensi manusia, melainkan penekanan Salomo disini adalah memanfaatkan kesempatan hidup kita sebaik-baiknya. Lagi-lagi Saksi Yehuwa ngawur menafsirkan ayat ini.

4. Apa arti perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus?

Perumpamaan itu menunjukkan bahwa pada zaman Yesus, ada dua kelompok orang yang keadaannya akan benar-benar berubah.

Orang kaya itu menggambarkan para pemimpin agama Yahudi ”yang cinta uang”. (Lukas 16:14) Mereka mendengar berita yang Yesus sampaikan, tapi mereka menolaknya. Mereka memandang rendah rakyat jelata.—Yohanes 7:49.

Lazarus menggambarkan rakyat jelata yang mau menerima berita Yesus. Mereka dibenci oleh para pemimpin agama Yahudi. Kedua kelompok ini mengalami perubahan yang sangat besar. 

Para pemimpin agama Yahudi mengira Allah senang kepada mereka. Tapi karena mereka tidak menerima apa yang diberitakan Yesus, Allah menolak mereka dan ibadah mereka. Jadi pada saat itu, mereka seolah-olah mati. Dan mereka tersiksa saat mendengar berita yang disampaikan oleh Yesus dan para pengikutnya.—Matius 23:29, 30; Kisah 5:29-33.

Rakyat jelata pada zaman Yesus, yang selalu diabaikan oleh para pemimpin agama, sekarang bisa bersahabat dengan Allah. Banyak yang mau menerima berita yang Yesus ajarkan sehingga mereka mendapat banyak manfaat. Mereka pun memiliki kesempatan untuk bersahabat dengan Allah selamanya.—Yohanes 17:3.

TANGGAPAN :

Tafsiran Saksi Yehuwa bahwa orang kaya adalah gambaran dari para pemimpin agama Yahudi yang sangat merasa tersiksa dan seolah-olah mati, adalah tafsiran yang dipaksakan, dan sama sekali jauh dari kebenaran

Meski saya mungkin bisa setuju bahwa orang kaya dan Lazarus menggambarkan dua golongan manusia yang sangat kontras, tapi kutipan-kutipan ayat diatas seperti Mat 23:29 dan Kis 5:29-33 juga tidak mendukung ide utama Saksi Yehuwa yang menolak neraka. 

Jadi neraka itu ada, dan neraka adalah tempat dimana Allah menyatakan murka dan keadilan-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEGITIGA PARADOX : ANTARA PROVIDENSI, DOSA, DAN KEKUDUSAN ALLAH

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali PENDAHULUAN Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata paradoks? Bagi saya memikirkan paradoks ini rasanya sama seperti kita sedang naik "Roaler Coaster". Suatu aktifitas berpikir yang memusingkan sehingga benar-benar memeras otak. Tapi sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan paradoks, karena istilah seperti ini tidak terbiasa lahir dari letupan-letupan percakapan ringan ala kedai tuak, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa ada yang belum mengerti dengan istilah ini. 1. PARADOKS  Apa itu paradoks? Paradoks bisa didefinisikan sebagai dua pernyataan yang berlawanan tapi keduanya sama-sama benar. Atau paradoks juga bisa diartikan benar dan salah pada saat yang bersamaan. Padahal kita tahu bahwa secara logika sesuatu yang salah tidak bisa menjadi benar disaat yang sama. Berikut ini contoh pernyataan yang bersifat paradoks:  "DION YANG ORANG FLORES ITU BERKATA BAHW

50 TANYA-JAWAB SEPUTAR IMAN KRISTEN

1. Jika Yesus adalah Allah, mana pengakuan Yesus secara eksplisit bahwa Dia adalah Allah? JAWAB :  Iman Kristen tidak mendasarkan hanya pada pengakuan langsung dari mulut Yesus. Iman Kristen percaya kepada kesaksian seluruh kitab suci walaupun Yesus tidak pernah mengumumkan bahwa Dia adalah Allah tapi kitab suci memberitahukan dan mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah. Jika kepercayaan atas ke-Allahan Yesus harus menuntut pengakuan langsung dari Yesus, lalu mengapa harus tiba pada kesimpulan bahwa Yesus bukan Allah, sedangkan Yesus tidak pernah mengakui bahwa Dia bukan Allah. Kesaksian dari penulis Injil sudah cukup untuk mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah, karena mereka adalah orang-orang yang ada di sekeliling Yesus mereka adalah para saksi-saksi mata. Sedangkan orang yang menolak Yesus tidak pernah hidup sejaman dengan Yesus. 2. Apa bukti bahwa Yesus adalah Allah? JAWAB :  Bukti bahwa Yesus adalah Allah adalah, Yesus memilik sifat-sifat dan melakukan tindakan-tindakan

BENARKAH BAHWA YESUS BUKAN THEOS?

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali  Menurut DR. Erastus Sabdono, Yesus itu sebenarnya bukan Theos, kata Theos hanya merujuk kepada pribadi Allah Bapa, tidak pernah merujuk kepada pribadi Allah Anak/Yesus. Nah untuk meneguhkan pandangannya, beliau lalu mengutip 2 Kor 1:3 .  2 Korintus 1:3 (TB) Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Sedangkan menurut beliau kata Yunani yang digunakan ketika merujuk pada Yesus adalah kata Kurios [Tuhan/Tuan] bukan Theos. Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, maka Erastus Sabdono merasa bahwa Yesus seharusnya tidak sederajat dengan Bapa. Kata Theos ini diterjemahkan LAI sebagai Allah, maka implikasinya [bahayanya] adalah jika Yesus bukan Theos, maka Yesus juga bukan Allah. Lalu bagaimana kita menanggapi atau menjawab ajaran Erastus Sabdono ini? Sebenarnya kalau kita merujuk ke bahasa aslinya [Yunani] kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak ayat Alkitab yang m