Beberapa hari yang lalu saya terlibat diskusi dengan seseorang melalui aplikasi WhatsApp. Diskusi ini bermula dari status WA saya. Di status itu saya menulis bahwa :
"Segala bentuk pengobatan adalah upaya manusia untuk menunda kematian, tapi manusia tetap tak bisa menolak kematian. Oleh sebab itu, manusia harus merefleksikan kembali (merenungkan) hidupnya yang singkat ini, agar dia bisa hidup dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab kepada sang pemilik kehidupan."
Seseorang kemudian menanggapi postingan saya, orang itu berkata demikian :
"Tak perlu pikirkan tentang kematian, berusaha saja untuk berobat dan menghindari sakit. Memikirkan tentang kematian itu membuang-buang energi, lebih baik kita mengisi hidup dengan hal-hal yang berkualitas, kemudian sisanya biarkan TUHAN yang menentukan. Bukankah kita sudah dikasih akal pikiran pengetahuan agama, membiarkan DIA menentukan hidup kita bukankah itu baik. Itulah yang aku bilang waste energi, karena sudah ada yang tentukan, kenapa dipikirkan? Karena kalau dipikirkan berarti sama hal nya tak percaya dengan upah yang akan diberikanNYA kepada orang yang saleh dan baik hidupnya."
Dari komentar beliau diatas ini, saya merasa ada sesuatu yang janggal dalam argumennya. Dan saya mencoba untuk membedah argumennya.
Pertama, saya melihat ada kesalahan definisi disini. Secara khusus pada kata "memikirkan". Memikirkan bagi saya tak harus berarti kita sedang meragukan akan upah kita sebagai orang beriman. Memikirkan dalam definisi saya, lebih kepada merefleksikan hidup yang singkat ini tentang bagaimana caranya kita memaksimalkan atau menggunakan hidup yang Tuhan berikan ini secara bijaksana dan bertanggung jawab kepada sang pemberi kehidupan itu sendiri (Tuhan), sehingga akan sangat sia-sia kalau hidup kita yang singkat ini hanya digunakan untuk makan, minum, berak dan kawin, lalu kemudian mati. Tentu ada hal yang lebih essential sehingga Tuhan tempatkan kita ada di dunia ini.
Jadi orang ini strawman fallacy terhadap status saya diatas.
Kedua, rasanya aneh ketika dia berkata bahwa kita tidak perlu memikirkan tentang perihal kehidupan atau penghukuman setelah kematian, cukup jalani saja hidup di dunia dengan sebaik-baiknya. Memikirkan menurut dia, itu sama halnya dengan meragukan akan upah kita sebagai orang beriman.
Jadi, orang ini mengaku melakukan sesuatu tanpa memikirkan tentang efek atau tujuan dari apa yang dia lakukan. Dia cukup lakukan saja, dan karena dia melakukan sesuatu yang baik, maka ganjarannya tentu akan baik juga.
Bagaimana kita bisa melakukan sesuatu tanpa tujuan? Jika kita mengabaikan aspek kehidupan setelah kematian lalu untuk apa kita bersusah payah hidup sebaik-baiknya di dunia ini? Bukankah pengakuan bahwa kita tentu akan menerima upah atas segala hal yang kita lakukan di dunia ini telah mengasumsikan bahwa hidup kita ini disetting oleh tujuan? Dan Jika upah yang dimaksud adalah surga, maka artinya kita juga memikirkan tentang surga, memikirkan tentang surga itu berarti memikirkan tentang kematian atau apa yang akan terjadi setelah kematian.
Jadi disini argumennya menabrak dirinya sendiri.
Ketiga, kemungkinan terakhir ini menurut saya berbau agnostik, yaitu suatu pandangan yang menganggap bahwa manusia tidak mampu untuk memahami atau menjelaskan tentang realitas metafisik secara komprehensif dan memuaskan.
Karena orang ini merasa tidak mampu untuk menjelaskan atau membuktikan bahwa ada Tuhan, surga atau neraka, ketidakmampuan itu kemudian berusaha ditutupi dengan kalimat bahwa "tak perlu memikirkan, cukup percaya saja akan upah sebagai orang benar". Ini adalah bentuk ketidakjujuran, karena disini orang ini berusaha untuk menutupi presaposisi agnostiknya dengan bersembunyi dibalik kata-kata optimisme ala motivator.
Sebagai orang percaya, saya merasa bahwa apa yang saya lakukan ini bukan demi tujuan untuk memperoleh keselamatan, surga dan sebagainya. Saya percaya bahwa saya telah selamat, dan surga telah ada dalam genggaman saya tepat pada saat hari dimana saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat saya. Saya tidak butuh usaha apapun untuk mendapatkan surga, saya cukup percaya saja. Tapi bukti dari kepercayaan saya itu menuntut saya agar selalu hidup berkenan di mata Tuhan, hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab kepada Tuhan sang pemberi kehidupan.
Nah dalam merenungkan atau memikirkan tentang bagaimana saya harus hidup berkenan kepada Tuhan itulah maka saya menulis status tadi.
SALAM...
Komentar
Posting Komentar