Langsung ke konten utama

"PO'O" KEARIFAN LOKAL SUKU LIO YANG TIDAK TERGERUS OLEH JAMAN

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali


PENDAHULUAN 

Beberapa hari yang lalu, adik saya membagikan video di WA group keluarga. Di Video itu ia terlihat bahagia, wajahnya sumringah, sesekali senyum tipis. Ia bersama warga yang lain, mereka sedang melahap habis makanan hasil olahan dari nasi yang ditanak dalam bambu, dilengkapi dengan kuah sop ayam kampung yang disajikan dalam mangkok yang terbuat dari tempurung kelapa.

Moment yang beliau abadikan ini dalam tradisi suku lio (suku penulis) dikenal dengan istilah "po'o". Po'o adalah tradisi memasak atau menanak nasi dalam ruas bambu dengan cara dibakar atau dipanggang pada bara api. Tradisi tahunan ini memang diwariskan oleh leluhur suku Lio di pulau Flores NTT, yang eksistensinya telah dipertahankan secara turun temurun, dari generasi ke generasi.

Sebagai seorang suku Lio, saya tentu tidak asing dengan tradisi ini. Tradisi tahunan ini memang mewarnai masa kecil saya. Saya ingat, biasanya sehari menjelang po'o, mama mengingatkan kami agar besok pagi ayam kami jangan dibiarkan keliaran. Ayam hari itu harus dikurung dalam kandang, karena jika keluar dari kandang, ayam-ayam itu bisa menjadi sasaran untuk lauk po'o. Hehehe, ya tradisi ini dibarengi dengan tradisi lain yang dikenal dengan istilah "kola manu" (kejar/tangkap ayam).

A. SEJARAH PO'O

Walaupun terlahir dan dibesarkan sebagai "ata Lio" (orang Lio), saya tidak memahami tentang sejarah atau makna filosofis dibalik tradisi ini. Iya, sebuah tradisi yang dibalut dalam kearifan lokal suatu daerah, tentu memiliki makna dibaliknya. Kalau kita boleh meminjam istilah dari Emanuel Kant yang membagi realitas sebagai yang "fenomena" dan "nomena", maka tradisi ini serta penampakan aktualnya hanyalah fenomena yang tampak dipermukaan, tapi makna filosofisnya bisa kita anggap sebagai nomena atau nyawa yang menggerakkan kegiatan ini.

Beruntung, saya memiliki sepupu yang jauh lebih jago dan pintar jika membahas hal-hal atau seputar isu yang berhubungan dengan adat, tradisi, ataupun silsilah Lio.

Namanya Eja Nus. Eja Nus menjadi narasumber saya, tempat dimana saya menggali keping-kepingan informasi ini, kemudian merajutnya menjadi satu cerita yang utuh lalu dituangkan menjadi tulisan pada artikel ini.

Begini ceritanya, leluhur kami orang Lio adalah pendatang dari daerah Malaka, di sekitar semenanjung Malaya. Rombongan yang eksodus ini datang dalam jumlah yang banyak dan mendarat di pantai utara pulau Flores, Wewa Ria. Setelah mendarat dan sebelum berdiaspora mencari tempat untuk dijadikan pemukiman masing-masing, para leluhur ini mengadakan perjamuan bersama (makan bersama).

Acara makan bersama ini memang sengaja dilakukan untuk mengenang peristiwa pendaratan ini, sekaligus sebagai media untuk bersyukur dan memohon kepada "du'a lulu wula dan ngga'e wena tana (tuhan penguasa langit dan bumi ) agar kedatangan mereka diterima, dan memberkati hasil tani mereka, sehingga mereka bisa melanjutkan kehidupan dan meneruskan keturunan di tanah ini. Leluhur orang Lio saat itu memang sudah memiliki kesadaran etnologis (kesadaran akan suatu entitas ilahi yang bisa disembah)

Para leluhur ini mempunyai bahan makanan yang dibawa dari tempat asal mereka, tapi mereka memiliki keterbatasan dengan alat-alat untuk memasak atau perabotan kebutuhan rumah tangga. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan bahan seadanya (batang bambu) yang diambil dari sumber daya alam disekitarnya sebagai alat untuk memasak.

B. MAKNA FILOSOFIS DAN ISOTERIS 

Ritual makan bersama ini bukanlah sekedar ritual biasa tapi ada makna filosofis dan isoteris dibaliknya. Jika anda pernah mengikuti upacara po'o ini, anda pasti melihat seorang Mosalaki (kepala adat) memegang "tumba" dan "sauh" (tombak dan pedang) dan sebuah miniatur kapal layar kecil yang dibiarkan berlayar di kali/sungai kecil(catatan : lokasi untuk ritual ini biasanya terletak dipinggir kali), lalu kemudian orang-orang yang mengikuti acara atau ritual ini dibiarkan untuk melempar miniatur perahu layar itu. Peristiwa melempar perahu ini dikenal dengan istilah "joka kowa" (tolak perahu).

Setiap ornamen yang digunakan sebagai simbol dalam ritual ini memiliki makna yang spesifik. Tombak dan pedang melambangkan kebesaran, dan melambangkan bahwa tujuan kedatangan para leluhur ini sebenarnya adalah bertujuan untuk ekspansi. Perahu melambangkan bahwa orang Lio adalah sebenarnya pendatang dari negeri seberang. Adapun ritual "melempar perahu"  melambangkan bahwa di tanah inilah leluhur orang Lio memutuskan untuk tinggal menetap demi melanjutkan kehidupan mereka (beregenerasi).

Sementara untuk tradisi kola manu memiliki versi makna yang beragam berdasarkan sub suku. Sebagai informasi tambahan, suku Lio masih terbagi menjadi beberapa sub-sub suku, antara lain :  Lise, Mbuli, Moni dan Bu.

Ritual po'o biasanya jatuh pada bulan september -oktober yakni setiap awal musim tanam, tujuannya seperti yang sudah disinggung diatas adalah untuk meminta permohonan agar tuhan (du'a ngga'e) memberikan kesuburan pada tanaman selama satu musim tanam ini. selain itu, juga agar tuhan memberikan kesehatan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

Menariknya adalah meski saat ini kita telah memasuki abad 21. Abad dimana perkembangan teknologi semakin mutakhir. Era revolusi industri 4.0, era dimana banyak pekerjaan manusia akan diganti oleh mesin. Bahkan era VC (video call) yang kedepannya mungkin akan diganti dengan teknologi multiverse, tapi tradisi po'o tetap dipegang teguh oleh masyarakat suku Lio. Ini menunjukkan bahwa po'o adalah kearifan lokal suku Lio yang tidak akan pernah termakan oleh waktu dan tidak akan pernah tergerus oleh jaman.

Salam.....

PENULIS 

Catatan Penulis :

Kendati sudah merangkum sejarah ini dari orang yang saya kira cukup memahami adat Lio dengan baik, saya tetap memberikan ruang untuk koreksi apabila ternyata mungkin masih ada kesalahan atau distorsi informasi di sana sini. Karena sejarah Lio adalah warisan budaya tutur, yang diceritakan secara verbal saja tanpa ditulis, sehingga tidak ada bukti empiris seperti prasasti atau catatan yang dikodevikasi dengan teratur.  Oleh sebab itu, saya kira sebagai orang Lio kita harus berbesar hati untuk mengakui bahwa sejarah Lio memiliki tingkat kredibilitas yang lemah, dan seharusnya kita terbuka terhadap segala bentuk kritikan dan siap untuk dikoreksi apabila ternyata ada versi yang memiliki kredibilitas yang lebih kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEGITIGA PARADOX : ANTARA PROVIDENSI, DOSA, DAN KEKUDUSAN ALLAH

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali PENDAHULUAN Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata paradoks? Bagi saya memikirkan paradoks ini rasanya sama seperti kita sedang naik "Roaler Coaster". Suatu aktifitas berpikir yang memusingkan sehingga benar-benar memeras otak. Tapi sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan paradoks, karena istilah seperti ini tidak terbiasa lahir dari letupan-letupan percakapan ringan ala kedai tuak, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa ada yang belum mengerti dengan istilah ini. 1. PARADOKS  Apa itu paradoks? Paradoks bisa didefinisikan sebagai dua pernyataan yang berlawanan tapi keduanya sama-sama benar. Atau paradoks juga bisa diartikan benar dan salah pada saat yang bersamaan. Padahal kita tahu bahwa secara logika sesuatu yang salah tidak bisa menjadi benar disaat yang sama. Berikut ini contoh pernyataan yang bersifat paradoks:  "DION YANG ORANG FLORES ITU BERKATA BAHW

50 TANYA-JAWAB SEPUTAR IMAN KRISTEN

1. Jika Yesus adalah Allah, mana pengakuan Yesus secara eksplisit bahwa Dia adalah Allah? JAWAB :  Iman Kristen tidak mendasarkan hanya pada pengakuan langsung dari mulut Yesus. Iman Kristen percaya kepada kesaksian seluruh kitab suci walaupun Yesus tidak pernah mengumumkan bahwa Dia adalah Allah tapi kitab suci memberitahukan dan mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah. Jika kepercayaan atas ke-Allahan Yesus harus menuntut pengakuan langsung dari Yesus, lalu mengapa harus tiba pada kesimpulan bahwa Yesus bukan Allah, sedangkan Yesus tidak pernah mengakui bahwa Dia bukan Allah. Kesaksian dari penulis Injil sudah cukup untuk mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah, karena mereka adalah orang-orang yang ada di sekeliling Yesus mereka adalah para saksi-saksi mata. Sedangkan orang yang menolak Yesus tidak pernah hidup sejaman dengan Yesus. 2. Apa bukti bahwa Yesus adalah Allah? JAWAB :  Bukti bahwa Yesus adalah Allah adalah, Yesus memilik sifat-sifat dan melakukan tindakan-tindakan

BENARKAH BAHWA YESUS BUKAN THEOS?

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali  Menurut DR. Erastus Sabdono, Yesus itu sebenarnya bukan Theos, kata Theos hanya merujuk kepada pribadi Allah Bapa, tidak pernah merujuk kepada pribadi Allah Anak/Yesus. Nah untuk meneguhkan pandangannya, beliau lalu mengutip 2 Kor 1:3 .  2 Korintus 1:3 (TB) Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Sedangkan menurut beliau kata Yunani yang digunakan ketika merujuk pada Yesus adalah kata Kurios [Tuhan/Tuan] bukan Theos. Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, maka Erastus Sabdono merasa bahwa Yesus seharusnya tidak sederajat dengan Bapa. Kata Theos ini diterjemahkan LAI sebagai Allah, maka implikasinya [bahayanya] adalah jika Yesus bukan Theos, maka Yesus juga bukan Allah. Lalu bagaimana kita menanggapi atau menjawab ajaran Erastus Sabdono ini? Sebenarnya kalau kita merujuk ke bahasa aslinya [Yunani] kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak ayat Alkitab yang m