Langsung ke konten utama

EMANUEL KANT DAN ETIKA DEONTOLOGIS

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali

Emanuel Kant (1724-1804) adalah salah satu filsuf Jerman dan tokoh intelektual abad pencerahan yang paling berpengaruh di era filsafat modern. Kehadirannya tidak hanya menggegerkan di bidang ontologi dan epistemologi, tapi juga di bidang etika dan estetika.

Di bidang epistemologi, Kant berusaha mengawinkan dua aliran filsafat yang saling "gontok-gontokan" dan bernegasi satu dengan yang lain, yaitu Empirisme dan Rasionalisme. Sedangkan di bidang ontologi, Kant membagi realitas menjadi dua yang dikenal dengan istilah "Fenomena dan Nomena". 

Tak mau ketinggalan berkontribusi dalam bidang filsafat yang lain, yaitu estetika, maka di bidang ini, Kant juga menyumbang pemikirannya dengan mendefinisikan apa itu seni atau keindahan. Bagi Kant, keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa disangkutkan dengan kegunaan praktis yang dapat mendatangkan rasa senang kepada subjek.

Kita tentu tidak akan mengulas secara panjang lebar pada ke-tiga wilayah kajian filsafat diatas, tapi pada artikel ini sesuai dengan judul diatas, maka kita akan fokus pada kajian filsafat yang lain, yang juga mendapatkan perhatian dari Emanuel Kant, yaitu Etika. 

Di bidang etika, Kant juga merumuskan satu teori yang disebut Dentologis.

1. DEONTOLOGIS 

Deontologis adalah formula etika yang dirumuskan oleh Emanuel Kant, pandangan etika ini bertolak belakang dengan prinsip Etika Teleologis yang menempatkan tujuan sebagai kendaraan dalam melegitimasi tindakan-tindakannya. 

Menurut pandangan Etika Teleologis, nilai baik atau buruknya suatu tindakan bergantung pada tujuan dari tindakan itu sendiri. Jika suatu tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang baik dan memiliki kegunaan tertentu, maka tindakan itu bisa dianggap baik dan dibenarkan

Sebagai contoh, saat Presiden Harry Truman membuat keputusan untuk menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki dalam perang dunia kedua, dengan alasan untuk menghentikan perang  yang terus berkecamuk dan tak kunjung berakhir, sehingga telah menimbulkan korban jiwa yang terus berjatuhan, maka tindakan Presiden Harry Truman dianggap baik dan bisa dibenarkan, walaupun pada faktanya dampak dari bom atom tersebut malah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan yang lebih besar.

Kant mengkritik dan menguliti habis-habisan prinsip etika model begini. Bagi Kant suatu tindakan yang dilakukan dengan suatu tujuan tertentu, yang bersifat eksternal (berada diluar tindakan itu sendiri), maka itu bukanlah suatu tindakan yang baik. Sifat baik dari suatu tindakan tertentu harus berada secara internal pada tindakan itu sendiri. Ia (tindakan baik itu) harus tanpa pamrih dan bebas dari iming-imingan apapun.

Sebagai contoh saat kita menolong seseorang, tindakan kita menolong itu dianggap baik, bukan karena kita ingin mendapatkan pujian atau reward dari tindakan itu. Bukan pula karena selama ini menolong orang lain dianggap baik. Tindakan menolong itu baik, karena memang dalam dirinya adalah baik. Sekalipun, katakanlah selama ini belum pernah ada orang yang menolong, tetap saja secara a priori tindakan itu tetap baik, ia baik pada dirinya sendiri tanpa ada campur tangan atau intervensi dari luar tindakan itu sendiri. Tindakan itu tidak boleh terpengaruh oleh keadaan, tujuan, maupun oleh pengalaman apapun.

2. PERANGKAT-PERANGKAT PENYUSUN ETIKA DEONTOLOGIS 

Ibarat sebuah kendaraan, Etika Deontologis ini harus ditopang oleh beberapa bagian sparepart utama yang penting. Tanpa sparepart ini maka etika Deontologis ini tidak bisa berfungsi. Adapun beberapa sparepart Etika Deontologis yang dirumuskan oleh Kant adalah :

A. Kehendak Baik (Good Will)

Kehendak baik adalah salah satu komponen penyusun Etika Deontologis Emanuel Kant. Dalam melakukan suatu tindakan kebaikan, tindakan itu harus dilakukan tanpa syarat. Nah agar tindakan itu tak bersyarat maka tindakan tersebut harus memiliki kehendak baik didalamnya. Kehendak baik disini selalu disinggungkan dengan kewajiban. 

Menurut Kant, jika kita menolong seseorang "karena kewajiban", maka itu tidak bernilai moral, karena dikekang oleh aturan tertentu yang mewajibkan kita untuk menolong, atau kita di "push" untuk menolong, maka tindakan itu dilakukan karena keterpaksaan bukan karena kerelaan.

B. Imperatif Kategoris

Komponen penyusun Etika Deontologis yang lain adalah Imperatif Kategoris. Imperatif Kategoris adalah lawan dari Imperatif Hipotetik. Agar memudahkan memahami apa itu Imperatif Kategoris, maka saya coba menjelaskan terlebih dahulu apa itu Imperatif Hipotetik. 

Imperatif Hipotetik adalah suatu tindakan yang dilakukan demi tujuan tertentu bukan karena tindakan itu sendiri. Biasanya proposisi dari Imperatif Hipotetik bersifat Deduktif Nomologis, yang rumusannya adalah : (Jika ...... Maka). Jika rajin belajar, maka akan pintar, jika rajin latihan sepak bola, maka akan pandai bermain bola, Dst.

Bagi Kant, tindakan yang dilakukan atas dasar tujuan tertentu, atau bersifat deduktif nomologis seperti diatas bukanlah tidak bermoral. Tindakan baik harus bersifat Imperatif Kategoris, yaitu tindakan yang bersifat otonom, tanpa embel-embel, sehingga proposisinya adalah : (Belajarlah, kerjakanlah, Dst).

C. Humanitas Sebagai Tujuan 

Komponen penyusun Etika Deontologis yang ketiga ini adalah Humanitas. Tujuan dari Etika ini adalah demi kemanusiaan itu sendiri.



3. IMAGO DEI YANG DISANGKALI 

























Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEGITIGA PARADOX : ANTARA PROVIDENSI, DOSA, DAN KEKUDUSAN ALLAH

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali PENDAHULUAN Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata paradoks? Bagi saya memikirkan paradoks ini rasanya sama seperti kita sedang naik "Roaler Coaster". Suatu aktifitas berpikir yang memusingkan sehingga benar-benar memeras otak. Tapi sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan paradoks, karena istilah seperti ini tidak terbiasa lahir dari letupan-letupan percakapan ringan ala kedai tuak, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa ada yang belum mengerti dengan istilah ini. 1. PARADOKS  Apa itu paradoks? Paradoks bisa didefinisikan sebagai dua pernyataan yang berlawanan tapi keduanya sama-sama benar. Atau paradoks juga bisa diartikan benar dan salah pada saat yang bersamaan. Padahal kita tahu bahwa secara logika sesuatu yang salah tidak bisa menjadi benar disaat yang sama. Berikut ini contoh pernyataan yang bersifat paradoks:  "DION YANG ORANG FLORES ITU BERKATA BAHW

50 TANYA-JAWAB SEPUTAR IMAN KRISTEN

1. Jika Yesus adalah Allah, mana pengakuan Yesus secara eksplisit bahwa Dia adalah Allah? JAWAB :  Iman Kristen tidak mendasarkan hanya pada pengakuan langsung dari mulut Yesus. Iman Kristen percaya kepada kesaksian seluruh kitab suci walaupun Yesus tidak pernah mengumumkan bahwa Dia adalah Allah tapi kitab suci memberitahukan dan mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah. Jika kepercayaan atas ke-Allahan Yesus harus menuntut pengakuan langsung dari Yesus, lalu mengapa harus tiba pada kesimpulan bahwa Yesus bukan Allah, sedangkan Yesus tidak pernah mengakui bahwa Dia bukan Allah. Kesaksian dari penulis Injil sudah cukup untuk mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah, karena mereka adalah orang-orang yang ada di sekeliling Yesus mereka adalah para saksi-saksi mata. Sedangkan orang yang menolak Yesus tidak pernah hidup sejaman dengan Yesus. 2. Apa bukti bahwa Yesus adalah Allah? JAWAB :  Bukti bahwa Yesus adalah Allah adalah, Yesus memilik sifat-sifat dan melakukan tindakan-tindakan

BENARKAH BAHWA YESUS BUKAN THEOS?

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali  Menurut DR. Erastus Sabdono, Yesus itu sebenarnya bukan Theos, kata Theos hanya merujuk kepada pribadi Allah Bapa, tidak pernah merujuk kepada pribadi Allah Anak/Yesus. Nah untuk meneguhkan pandangannya, beliau lalu mengutip 2 Kor 1:3 .  2 Korintus 1:3 (TB) Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Sedangkan menurut beliau kata Yunani yang digunakan ketika merujuk pada Yesus adalah kata Kurios [Tuhan/Tuan] bukan Theos. Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, maka Erastus Sabdono merasa bahwa Yesus seharusnya tidak sederajat dengan Bapa. Kata Theos ini diterjemahkan LAI sebagai Allah, maka implikasinya [bahayanya] adalah jika Yesus bukan Theos, maka Yesus juga bukan Allah. Lalu bagaimana kita menanggapi atau menjawab ajaran Erastus Sabdono ini? Sebenarnya kalau kita merujuk ke bahasa aslinya [Yunani] kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak ayat Alkitab yang m