Langsung ke konten utama

SALINAN DEBAT SAYA DENGAN SEORANG ATEIS DI FACEBOOK

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali

Dalam sebuah Group tanya jawab Iman Kristen di Facebook, saya mengajukan pertanyaan yang bersifat filosofis kepada Seorang Theolog Reformed dan Presaposisionalis Van Tillian yang bernama Muriwali Yanto Matalu. Group itu diberi nama Studi Reformed MYM. Saya sengaja mendokumentasikan salinan debat ini, karena menurut saya debat/diskusi ini cukup menarik. 

Di artikel ini saya berusaha untuk menampilkan seutuhnya, tanpa menambahkan ataupun mengurangi komentar kami di kolom komentar group tersebut, hanya mungkin saya sedikit merapikan saja, agar bisa dibaca dengan lebih baik, karena maklumlah di Facebook tadi saya agak terburu-buru mengetiknya, sehingga kemungkinan ada kesalahan pengetikan (Typo)

Saya juga tidak akan menampilkan semua komentar dari TS itu, tapi saya hanya fokus pada debat saya dengan seseorang yang bernama Romeo Wibowo. Di bagian akhir dari artikel ini, saya akan sisipkan link Facebooknya, sehingga saudara juga bisa langsung membaca TS tersebut di Facebook tadi.

Nah sebelum kita ke perdebatan kami, ada baiknya kita melihat dulu pertanyaan saya di Group tersebut, dan jawaban Pak MYM atas pertanyaan saya.

Pertanyaannya saya adalah sebagai berikut :

Dion : 

Shalom Pak MYM.  Orang Ateis sering menuntut pembuktian empiris tentang keberadaan Tuhan dan hal-hal yg bersifat metafisik lainnya yang dinyatakan secara wahyu dalam Alkitab. Tapi ketika ditanya balik, lalu apa buktinya bahwa Tuhan tidak ada? Mereka menjawab bahwa pertanyaan itu tidak relevan ditanyakan kepada kami yang tidak mengakui entitas ilahi. karena kami tidak mengakui keberadaan Tuhan. Jadi, jangan tanya kami apa bukti ketidakberadaanNya. Yang tidak ada, ya tentu tidak ada bukti. 

Jawaban seperti ini hanya menempatkan beban pembuktian dibahu orang beragama (atau kita orang Percaya dalam konteks Kristen), jadi mereka bisa dengan bebas cuci tangan dari tanggung jawab untuk membuktikan klaim mereka.

Bagaimana tanggapan Van Tillian atau jawaban pak MYM secara pribadi untuk argumen seperti ini?
Terima kasih Pak.

Kemudian Pak Muriwali memberikan jawaban yang menurut saya sangat briliant. Jawabannya adalah sebagai berikut :

MYM :

Di sini si ateis melakukan lompatan logika. Pernyataan, "Tuhan tidak ada" itu adalah satu tesis yang harus didukung dengan bukti atau paling tidak alasan rasional. Itu beban dia, jika dia menghindar, itu artinya dia tak dapat mempertanggungjawabkan tesisnya. Enak saja bilang Tuhan tidak ada, tapi dia belum pernah naik ke matahari atau ke galaksi Andromeda atau Bimasakti atau yang lainnya untuk riset di sana apakah benar Tuhan tidak ada atau justru ada. 

Maka di sini, kalau hanya bukti yang dicari, keyakinan ateisme yang berkata bahwa Allah tidak ada, jauh lebih tak bisa dibuktikan atau jauh lebih konyol. Nah, memang kita tak bisa membuktikan keberadaan Allah sesuai maunya orang ateis selama dia menolak hal-hal yang supranatural dan selama pikirannya dibelenggu oleh dosa tanpa dia sadari, walaupun sebenarnya ada banyak bukti, e.g. argumentasi kosmologis, ontologis, dll. 

Bagi teologi Reformed, percuma kita membuktikan keberadaan Allah pada orang ateis yang sudah buta oleh dosa dan setan. Cara yang bisa dilakukan hanyalah mencoba menunjukkan bahwa di posisi ateis semacam itu, kita tak bisa memahami dan menjelaskan perihal aspek moral manusia, perihal makna hidup, dan perihal rasionalitas. Hanya jika dia mau berdiri di posisi Kristen kita, barulah kita dapat menjelaskan perihal moral, makna hidup, dan rasionalitas. 

Dalam bahasa Van Til, hanya iman Kristen yang intelligible (rasional), yang lainnya mustahil atau irasional. Tugas kita adalah me-reductio ad absurdum posisi lawan (ateis, dll). Kalau anda memahami argumentasi Van Tillian, anda bisa memustahilkan pandangan ateis perihal moral, makna hidup, dan rasionalitas. Contoh, darimana si ateis membedakan baik dan jahat jika dia menolak hukum moral obyektif dan menolak keberadaan Allah? Biasanya orang semacam ini, seperti Bertrand Russell, berkata bahwa baik dan jahat dibedakan oleh perasaan. Tapi kita bisa tanya lagi, perasaan seorang perampok mengatakan baik untuk membunuh, sedangkan perasaan seorang petani yang baik mengatakan membunuh itu jahat. Perasaan siapa yang jadi standar di sini? Jika perasaan petani yang baik jadi standar, mengapa perasaannya harus jadi standar? Apa indikator untuk menjadikannya standar? Si ateis kalau mau rasional, harus pada akhirnya mengakui bahwa ada hukum moral obyektif, dan adanya hukum moral obyektif mengharuskan adanya Allah, penentu baik dan jahat, serta hakim atas segala sesuatu. Ini baru rasional. Dan yang lebih fundamental, si ateis sebenarnya TAK BERHAK bicara baik dan jahat. Mengapa? Karena menurut dia manusia hanyalah random product of time plus chance plus matter (produk acak dari waktu, peluang, dan materi). 

Kalau manusia hanyalah seperti itu, maka si ateis ini boleh dibunuh dan tak boleh protes. Mengapa? Toh manusia hanyalah produk acak dari waktu, peluang, dan materi. Dibunuh atau tidak dibunuh, apakah artinya itu? Tak ada artinya. Tempeleng dia, dan bilang kepadanya, saya hanya secara acak saja menempeleng anda sesuai dengan natur kamu yang random.

Saudara/saudari, mengikuti keyakinan ateis yang goblok seperti ini, dunia akan kacau balau. Ateisme memang adalah kebodohan di atas kebodohan di atas kebodohan.



Kemudian Pak Romeo Wibowo juga memberikan tanggapannya atas pertanyaan tadi, di komentar ini secara implisit (tidak langsung), beliau mengaku sebagai seorang Ateis, dan saya kemudian menanggapi beliau, sehingga terjadilah debat antara kami berdua, berikut percakapan dalam debat kami :

Romeo Wibowo : Argumen basi, Ateis bukannya tidak percaya Allah, tapi lebih tepatnya meragukan kepercayaan Theis. 
Anda (kaum Theis) yang mengatakan "ada naga di garasi rumah saya". Maka kami Atheis hanya menanyakan: "buktinya apa, kok aku ga bisa melihatnya?" 
Anda bilang: "oh naganya gak bisa dilihat dengang
mata telanjang." 
Beban pembuktiannya ada pada yang mengklaim (Theis) bukan pada Atheis.

Dion : Romeo Wibowo, setiap klaim dan negasi dari klaim punya beban pembuktian yang sama.
Kalau Teis diminta membuktikan keberadaan Tuhan, maka Ateis yang meng-klaim bahwa Tuhan tidak ada, juga punya beban pembuktian yang sama, bahwa Tuhan itu tidak ada.
Maka ketika orang Ateis menolak membuktikan klaimnya, maka klaimnya menjadi klaim kosong yang tidak bisa dibuktikan.

Romeo Wibowo : Din Tani Wangge, tidak selalu.
Yang mengklaim adanya Tuhan siapa? Posisi Atheis lebih meminta pembuktian. Bukan disuruh membuktikan.  
Di sini Atheis belum membuat klaim apa-apa.

Dion : Romeo Wibowo, Bapak mengerti negasi atau tidak?
Negasi adalah penolak terhadap klaim, misalnya jika Teis meng-klaim bahwa ada Tuhan, maka negasinya adalah Tuhan tidak ada. Nah Tuhan tidak ada itu sebenarnya adalah klaim juga, klaim penolakan terhadap klaim pertama.
Maka sebenarnya orang Ateis dan Teis punya beban pembuktian yang sama untuk membuktikan klaimnya masing-masing. Kalau orang Teis dimintai untuk membuktikan Tuhan itu ada, maka orang Ateis juga harus membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.

Romeo WibowoDin Tani Wangge, nanti dulu.
Saya katakan Atheis belum mengklaim apa-apa. 
Logikanya tidak selalu begitu. Jangan paksakan logika sempit ini. 
Anda menjual obat kuat, tinggal buktikan aja, kami belum memberikan klaim itu "itu bukan obat kuat." Gitu lho...paham?
Kalau kalian bilang "ada naga di garasi rumah saya", Atheis cuma bilang "mana?"

Dion :  Romeo Wibowo, lho kow anda bilang gak meng-klaim apa-apa?
Posisi anda sebagai A-TEIS itu sudah klaim pak.
TEIS artinya Tuhan, A-TEIS artinya "tak ada Tuhan". Itu sebuah posisi. Anda jangan seenaknya, berpura-pura tak ada posisi apa-apa, lalu kemudian hanya menuntut pembuktian dari orang lain.

Romeo Wibowo : Din Tani Wangge, no.. no..no...itu hanya istilah yang kalian labelkan kepada orang yang tak percaya klaim anda.

Dion : Romeo Wibowo, justru karena posisi anda yg tak percaya, maka anda juga mempunyai sebuah posisi.
Sampai sini Pak Romeo mengerti ya?

Romeo Wibowo : bayangkan bila saya mengatakan kepada Anda bahwa saya memiliki uang 100 juta dollar di suatu bank di Swiss, dan Anda tidak percaya dengan klaim yang saya katakan. 
Namun, bukannya saya menunjukkan bukti seperti saldo rekening misalnya, atau catatan finansial, beban pembuktian dari klaim tersebut justru saya kenakan kepada Anda. Saya justru meminta anda untuk membuktikan bahwa klaim yang saya ajukan salah. Bila anda tidak bisa membuktikan saya salah, maka itu menjadi bukti bahwa klaim saya adalah benar.
Hal ini tentu merupakan bentuk kecacatan logika yang sangat nyata. Beban pembuktian untuk klaim tertentu harusnya dikenakan kepada pihak yang membuat klaim tersebut. Dan ketika pihak yang membuat klaim tersebut tidak bisa membuktikan klaim yang diajukan, bukan berarti lantas klaim tersebut menjadi benar.

Romeo Wibowo : Din Tani Wangge, sampai disini bapak mengerti?

Dion : Romeo Wibowo, gak mengerti, anda meng-analogikan sebuah shifting burden of proof. Padahal saya tidak menggeser beban pembuktian klaim saya kepada anda.
Saya hanya menuntut Anda juga membuktikan klaim anda seperti saya.
Jadi, kita berdua sama-sama punya beban pembuktian yg sama.
Shifting burden of proof itu, kecuali saya membuang beban pembuktian saya kepada anda, saya tidak melakukan itu, saya hanya meminta anda membuktikan klaim anda.

Romeo Wibowo : Din Tani Wangge, pak, sudah saya katakan atheis belum membuat klaim. 
Siapa sih yang pertama menyodorkan ide tentang Allah? 

Dion : Romeo Wibowo, kalau begitu Pak Romeo jangan mengakui sebagai seorang ateis Pak.
Kalau pak Romeo ngaku sebagai Ateis, maka disitu Pak sudah punya posisi. Tapi kalau pak tidak mengaku ateis maka apa posisi bapak sebenarnya?
Di dunia ini tak ada yg tak punya posisi pak, ketidakpercayaan terhadap Tuhan itupun sebuah posisi

Romeo Wibowo : Din Tani Wangge, ok pak, entahlah...saya tidak keberatan anda pandu saya menjadi seorang Theis. 

Dion : Romeo Wibowo, jadi gini pak. Pembuktian itu tidak harus bersifat empiris (dapat dilihat, diraba dan sebagainya).
Di dunia ini, ada banyak hal yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, tapi kita mengakui keberadaannya, contoh nya hukum logika Pak.
Pak Romeo dan saya berdiskusi dari tadi itu sebagai bukti bahwa kita menggunakan hukum logika yang sama, walaupun bentuk empiris logika itu tak bisa di lihat, tapi eksistensi logika, kita berdua akui bersama.
Nah, natur Tuhan itu seperti itu pak, bersifat immaterial, jadi menuntut pembuktian empiris tak akan menghasilkan apa-apa, Karena empirisme hanya berguna bagi sesuatu yang bersifat material.
Nah untuk argumentasi lainnya, seperti argumen moral diatas pak, pak dan saya mengakui adanya moralitas (baik dan jahat). itu mengharuskan adanya hukum moral, adanya hukum moral mengharuskan adanya pembuat hukum moral, dan pembuat hukum moral itu tidak mungkin manusia biasa, karena manusia punya tuntutan dan tanggung jawab moral yang sama, yaitu untuk melakukan kebaikan dan jangan melakukan kejahatan.
Pembuat hukum moral ini harus lah sempura secara moral, dan berada diatas hukum moral. Maka Dia ini identik dengan Tuhan, hanya Tuhan lah yang sempurna secara moral.
Tapi kalau pak menolak Tuhan, itu berarti pak menolak pembuat hukum moral, kalau pak menolak pembuat hukum moral, itu berarti hukum moral itu seharusnya tidak ada, tapi kalau hukum moral tidak ada, maka tak ada namanya kebaikan dan kejahatan (karena moralitas adalah kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang jahat), kalau tidak ada kebaikan dan kejahatan, maka tak masalah kalau pak Romeo menampar dan menendang seorang nenek tua, tapi saya yakin bahwa Pak Romeo adalah manusia bermoral seperti saya, maka di mata dan hati pak Romeo menampar dan menendang seorang nenek-nenek adalah kejahatan yang keji.
Nah, disitulah sebenarnya bukti bahwa Tuhan si pembuat hukum moral itu ada, Dia yang menaruh hukum moralnya dihati pak Romeo dan saya.
Kira-kira itulah argumentasi dari saya pak. Saat ini sy mau pulang kerja, jadi saya batasi sampai disini komentar saya dan diskusi kita pak. Kalau next time ada waktu luang, kita bisa lanjut diskusi lagi pak. 🙏

Terima kasih Pak

Romeo Wibowo : Din Tani Wangge, Ok pak, that is a good point. But I hope, all people that believing in God, have a high moral standard in their life. Not only in his belief but in his behavior also.

Dion : Romeo Wibowo, for this point I'm agree with you... 🙏

Nah demikianlah debat kami berdua. Seperti yang saudara baca diatas, bahwa tanpa kita mempresaposisikan Tuhan sebagai pembuat hukum moral, maka eksistensi hukum moral menjadi mustahil (uninteligible). Nah, orang Ateis tidak bisa menjustifikasi moralitas yang mereka lakukan, walaupun secara sadar mereka melakukan perbuatan moral, tapi mereka menolak pembuat hukum moralnya, bagi mereka Tuhan sang pembuat hukum moral itu tidak ada. 

Ini seperti dua orang berdebat tentang eksistensi udara, menurut si A udara itu ada, tapi menurut si B, udara itu tidak ada, tapi di saat yang sama mereka berdua harus menghirup udara agar tetap hidup.

Catatan lainnya, orang Ateis biasanya memang menolak hukum moral yang bersifat objektif dan universal, bagi mereka hukum moral itu hanyalah hasil dari konsensus (kesepakatan bersama), maka sangat gampang untuk membantai argumentasi ini, jika hukum moral adalah hasil konsensus, maka tak masalah kalau kita bunuh mereka, dan mereka tak boleh protes atau melawan, karena kita bukan bagian dari konsensus mereka, bagi mereka membunuh itu jahat tapi bagi kita tidak, Karena kita dan mereka tidak punya standar kesepakatan bersama tentang moral.

Nah konyol kan pandangan ini?

Oke sampai disini salinan debatnya, dan ini link Facebook tadi 
https://m.facebook.com/groups/141884136424226/permalink/841418809804085/





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEGITIGA PARADOX : ANTARA PROVIDENSI, DOSA, DAN KEKUDUSAN ALLAH

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali PENDAHULUAN Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata paradoks? Bagi saya memikirkan paradoks ini rasanya sama seperti kita sedang naik "Roaler Coaster". Suatu aktifitas berpikir yang memusingkan sehingga benar-benar memeras otak. Tapi sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan paradoks, karena istilah seperti ini tidak terbiasa lahir dari letupan-letupan percakapan ringan ala kedai tuak, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa ada yang belum mengerti dengan istilah ini. 1. PARADOKS  Apa itu paradoks? Paradoks bisa didefinisikan sebagai dua pernyataan yang berlawanan tapi keduanya sama-sama benar. Atau paradoks juga bisa diartikan benar dan salah pada saat yang bersamaan. Padahal kita tahu bahwa secara logika sesuatu yang salah tidak bisa menjadi benar disaat yang sama. Berikut ini contoh pernyataan yang bersifat paradoks:  "DION YANG ORANG FLORES ITU BERKATA BAHW

50 TANYA-JAWAB SEPUTAR IMAN KRISTEN

1. Jika Yesus adalah Allah, mana pengakuan Yesus secara eksplisit bahwa Dia adalah Allah? JAWAB :  Iman Kristen tidak mendasarkan hanya pada pengakuan langsung dari mulut Yesus. Iman Kristen percaya kepada kesaksian seluruh kitab suci walaupun Yesus tidak pernah mengumumkan bahwa Dia adalah Allah tapi kitab suci memberitahukan dan mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah. Jika kepercayaan atas ke-Allahan Yesus harus menuntut pengakuan langsung dari Yesus, lalu mengapa harus tiba pada kesimpulan bahwa Yesus bukan Allah, sedangkan Yesus tidak pernah mengakui bahwa Dia bukan Allah. Kesaksian dari penulis Injil sudah cukup untuk mengafirmasi bahwa Yesus adalah Allah, karena mereka adalah orang-orang yang ada di sekeliling Yesus mereka adalah para saksi-saksi mata. Sedangkan orang yang menolak Yesus tidak pernah hidup sejaman dengan Yesus. 2. Apa bukti bahwa Yesus adalah Allah? JAWAB :  Bukti bahwa Yesus adalah Allah adalah, Yesus memilik sifat-sifat dan melakukan tindakan-tindakan

BENARKAH BAHWA YESUS BUKAN THEOS?

Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali  Menurut DR. Erastus Sabdono, Yesus itu sebenarnya bukan Theos, kata Theos hanya merujuk kepada pribadi Allah Bapa, tidak pernah merujuk kepada pribadi Allah Anak/Yesus. Nah untuk meneguhkan pandangannya, beliau lalu mengutip 2 Kor 1:3 .  2 Korintus 1:3 (TB) Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Sedangkan menurut beliau kata Yunani yang digunakan ketika merujuk pada Yesus adalah kata Kurios [Tuhan/Tuan] bukan Theos. Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, maka Erastus Sabdono merasa bahwa Yesus seharusnya tidak sederajat dengan Bapa. Kata Theos ini diterjemahkan LAI sebagai Allah, maka implikasinya [bahayanya] adalah jika Yesus bukan Theos, maka Yesus juga bukan Allah. Lalu bagaimana kita menanggapi atau menjawab ajaran Erastus Sabdono ini? Sebenarnya kalau kita merujuk ke bahasa aslinya [Yunani] kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak ayat Alkitab yang m