Oleh : Dionisius Daniel Goli Sali
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman saya memposting berita tentang seorang yang bernama Muhammad Kace yang diduga menista agama tertentu, postingan itu dibagikan di WAG (WhatsApp Group), yang mana saya juga adalah anggota dari group tersebut.
Kebetulan, orang yang diduga menista agama ini, adalah mantan penganut agama mayoritas yang kemudian setelah hijrah ke Kristen, beliau aktif di kanal YouTube pribadinya, sambil menebarkan konten tentang perbandingan agama.
Tentu saja isu yang dibahas adalah perbandingan agama dia yang sekarang dan agama lama nya. Namun dalam pembahasan atau kajian-kajian perbandingan agama di konten YouTubenya itu, orang ini kemudian dianggap menyinggung (menista) agama lamanya.
Videonya kemudian viral, dan menjadi buah bibir dikalangan netizen tanah air. Gelombang protes pun muncul, dan mendesak sih oknum murtadin ini untuk dikandangkan (ditangkap). Selang beberapa hari setelah desakan tersebut, polisi kemudian menangkap Muhammad Kace ini.
Teman saya ini kemudian merasa bahwa hukum di negeri ini kelihatan timpang dan berat sebelah, pasal-pasal penistaan agama seolah-olah dibuat hanya untuk menjerat umat minoritas, beliau lalu membandingkan dengan beberapa oknum ustad yang dianggap melakukan penistaan terhadap umat agama lain dalam ceramah mereka, yang walaupun berkas laporan atas dugaan penistaan ini telah diletakkan di atas meja polisi, namun oknum ustad tersebut tak kunjung ditangkap, bahkan cenderung tak bisa disentuh.
Beliau juga mengkritisi PGI selaku lembaga Induk gereja, yang seharusnya bersuara dalam situasi seperti ini, malah diam seribu bahasa, dan terkesan takut. Padahal untuk kasus yang lain, PGI lantang bersuara.
Senada dengan beliau, saya juga merasa PGI seperti macan ompong, tak ada nyali, mirip orang impoten yang "anu" nya tak bisa ereksi, entah untuk apa lembaga yang satu ini ada, kalau untuk masalah-masalah seperti ini, lembaga ini bungkam.
Dalam percakapan di Group WhatsApp tersebut, saya dan teman saya berbalas mengirimkan pesan, yang isinya berupa kritikan kami terhadap PGI. Kemudian ada teman kami yang lain, yang juga adalah anggota group itu, menanggapi komentar saya. komentarnya seperti yang saya bold dibawah ini :
"Mungkin lebih baik Bang Dion saja yang jadi ketua PGI nya?"
Menurut saya, secara implisit komentar ini menganggap bahwa saya tidak punya kapasitas untuk mengkritik PGI, atau mungkin menganggap bahwa seandainya saya adalah ketua PGI, saya juga belum tentu punya kinerja yang lebih baik dari ketua PGI yang saya kritik sekarang.
Kritikan serupa seringkali saya temui dalam percakapan-percakapan di sosial media, maupun dalam percakapan-percakapan secara lisan sehari-hari. seringkali ketika kita mengkritik seseorang, kita dianggap tidak pantas mengkritik, karena kita belum tentu bisa menjadi seperti orang yang kita kritik.
Misalnya saat seseorang mengkritik presiden, maka akan ada tanggapan yang membela presiden. Dengan mengatakan " Emang loe kira gampang jadi presiden? Coba loe aja yang jadi presiden!"
Tanggapan seperti ini sangat "ngawur". Mengkritik dan dikritik itu suatu fenomena sosial yang tidak bisa dihindari dalam suatu kebijakan, apalagi dalam negara yang demokratis seperti ini, kritikan telah menjadi semacam kontrol sosial terhadap kebijakan publik, kritikan bersifat memonitor para pemangku jabatan agar tidak menyimpang dalam membuat kebijakan, tujuannya tentu untuk kebaikan kita bersama.
Nah, coba mari kita lihat argument atau komentar teman saya diatas, apakah konsisten untuk diterapkan? misalkan ada 100 orang yang mengkritik presiden, lalu semua dituntut untuk jadi presiden semuanya.
Waduh, bagaimana ini? Ini baru 100 orang, bagaimana kalau se-Indonesia ini yang kritik Jokowi, apakah semua pengkritik ini harus menjadi presiden biar bisa merasakan apa yang Jokowi rasakan? Nah ini kan konyol.
Ada lagi argumen ngawur tentang kritikan yang juga sering saya temui di media sosial. Jika seseorang mengkritik seseorang, maka ada yang menanggapi,
"Kalau mengkritik jangan hanya omong doang di FB atau di YouTube, kalau anda gentle (berani), coba samperin (temui) langsung orangnya saja"
Jadi misalnya, kalau saya mengkritik presiden Jokowi, maka menurut argumen tersebut, saya harus menemui Jokowi secara langsung, baru kritikan saya dianggap absah dan layak sebagai kritikan.
Ini konyol juga, bagaimana kalau se-Indonesia yang kritik Jokowi, apakah se-Indonesia ini harus menemui Jokowi secara langsung? Istana full nanti, tidak bisa menampung manusia, nanti manusia nya meluber keluar
Kalau saya mengkritik teori evolusinya Charles Darwin, maka sesuai dengan argumentasi tersebut saya harus bertemu langsung dengan si Darwin. Nah masalahnya, bagaimana mau ketemu? Kalau si Darwin nya saja sudah "modar" guys, alias mati.
Lagipula, menjumpai langsung presiden bukan perkara yang mudah, kita harus melewati protokol yang ketat, baru bisa menjumpai langsung sang kepala negara. Dan itu bukan hal yang gampang untuk kita lakukan.
Jadi, jangan kita anti kritik, tapi mari kita berikan kritikan kita dengan motivasi hati yang benar, bukan untuk menjelekkan oknum ataupun lembaga tertentu. Maka pada akhirnya, semuanya kembali kepada hati, jika motivasi hati kita salah, apa yang kita lakukan salah, tapi jika motivasi hati kita benar, maka apa yang kita lakukan (termasuk memberi kritikan) benar.
Salam......
Penulis.....
Komentar
Posting Komentar